Arti Istri Pameget Bahasa Sunda, Banyak yang Keliru
Ilustrasi. Sumber: Pixabay/ Mohamed_hassan

Arti Istri Pameget Bahasa Sunda, Banyak yang Keliru!

Diposting pada
iklan fif batujajar

KoranBandung.co.id – Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat Sunda sering menggunakan istilah “istri pameget” untuk menanyakan jenis kelamin seseorang, terutama anak yang baru lahir.

Namun, banyak yang keliru mengartikan frasa ini sebagai “istri dari laki-laki”, padahal maksud sebenarnya adalah menanyakan apakah seseorang berjenis kelamin perempuan atau laki-laki.

Kesalahpahaman ini kerap terjadi karena kata “istri” dalam bahasa Indonesia berarti pasangan perempuan dalam pernikahan.

Namun, dalam bahasa Sunda, “istri” adalah istilah halus yang berarti perempuan.

Demikian pula, “pameget” adalah istilah halus untuk laki-laki. Oleh karena itu, “istri pameget” digunakan untuk menanyakan jenis kelamin seseorang, misalnya saat seseorang bertanya kepada teman lamanya mengenai jenis kelamin anak yang baru lahir dengan menanyakan, “Murangkalih teh istri pameget?” yang berarti “Anak (yang lahir) perempuan atau laki-laki?”

Selain “istri” dan “pameget”, bahasa Sunda memiliki sinonim lain untuk menyebut jenis kelamin.

Kata “awewe” berarti perempuan, namun dianggap kurang halus. Sedangkan “lalaki” berarti laki-laki dan juga dianggap kurang halus. Untuk istilah yang lebih halus, “putra” digunakan untuk laki-laki.

Ada juga istilah “bikang” untuk perempuan dan “jalu” untuk laki-laki, namun kedua istilah ini biasanya digunakan untuk hewan, sehingga dianggap kasar jika digunakan untuk manusia.

Pemahaman yang tepat tentang penggunaan istilah-istilah ini penting untuk menghindari kesalahpahaman dalam komunikasi sehari-hari.

Terutama bagi mereka yang baru belajar atau tidak terbiasa dengan bahasa Sunda, memahami perbedaan makna dan tingkat kesopanan dari setiap kata akan membantu dalam berinteraksi dengan masyarakat Sunda secara lebih efektif dan sopan.

Selain itu, penting untuk mencatat bahwa bahasa Sunda memiliki tingkatan bahasa yang berbeda, mulai dari kasar hingga halus, tergantung pada konteks dan kepada siapa kita berbicara.

Misalnya, dalam konteks formal atau saat berbicara dengan orang yang lebih tua, penggunaan istilah halus seperti “istri” dan “pameget” lebih disarankan.

Sebaliknya, dalam situasi informal atau dengan teman sebaya, penggunaan istilah seperti “awewe” dan “lalaki” mungkin lebih umum, meskipun tetap perlu berhati-hati agar tidak terkesan kurang sopan.

Dengan memahami nuansa ini, kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif dan menghormati budaya serta adat istiadat masyarakat Sunda.***