KoranBandung.co.id – Dugaan pengoplosan beras oleh sejumlah produsen besar dinilai sebagai bentuk kejahatan ekonomi yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat kini dihadapkan pada situasi yang ironis ketika harga beras melambung, namun mutu dan berat tidak sesuai dengan label kemasan.
Skandal ini mencuat di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional yang masih rapuh pasca pandemi dan tekanan global.
Ketidaksesuaian mutu dan harga beras menjadi sorotan tajam setelah Kementerian Pertanian melaporkan 212 produsen beras ke Kepolisian dan Kejaksaan Agung pada Jumat, 11 Juli 2025.
Langkah tersebut diambil setelah dilakukan pengujian terhadap 268 merek beras yang beredar di pasar.
Dari hasil uji tersebut, sebanyak 85,56 persen produk tidak memenuhi standar mutu yang seharusnya dijaga oleh para produsen.
Lebih mencengangkan, sebanyak 59,78 persen produk dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Sebanyak 21 persen produk bahkan tidak sesuai dengan berat bersih yang tercantum pada kemasan.
Beberapa nama besar dalam industri pangan tercantum dalam daftar produsen yang tengah diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Wilmar Group, pemilik merek terkenal seperti Sania, Sovia, dan Fortune, termasuk di antara produsen yang sedang diselidiki.
Selain Wilmar, Food Station Tjipinang Jaya yang memproduksi beras Setra Pulen dan Alfamidi juga turut masuk dalam radar investigasi.
Perusahaan lain seperti Belitang Panen Raya (merek Raja Platinum dan Ultima) serta Sentosa Utama Lestari yang berada di bawah naungan Japfa Group, juga tidak luput dari penyelidikan.
Pengamat hukum dari Universitas Bung Karno, Hudi Yusuf, menyoroti bahwa praktik semacam ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bentuk kejahatan ekonomi yang mencederai kepercayaan publik.
Ia menilai tindakan para produsen yang mencampur kualitas beras demi keuntungan besar sebagai bentuk ketidakadilan terhadap konsumen kecil.
Menurutnya, rakyat dipaksa membayar mahal untuk produk yang kualitasnya jauh dari standar.
Kondisi ini sangat tidak layak terjadi saat masyarakat sedang berjuang dalam tekanan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Data yang disampaikan Menteri Pertanian menunjukkan bahwa potensi kerugian yang diderita konsumen akibat praktik ini mencapai angka fantastis: Rp99 triliun.
Angka ini menjadi peringatan serius bahwa pengawasan distribusi dan kualitas pangan belum optimal meskipun beras merupakan komoditas utama kebutuhan dasar rakyat.
Ironisnya, laporan FAO memprediksi produksi beras nasional akan naik menjadi 35,6 juta ton pada tahun 2025.
Kenaikan produksi tersebut seharusnya menjamin ketersediaan dan stabilitas harga di pasaran.
Namun kenyataannya, masyarakat justru terjerat dalam permainan harga dan manipulasi kualitas yang dilakukan oleh sebagian oknum di balik produsen besar.
Satgas Pangan telah menggelar uji sampel secara nasional untuk memastikan temuan di lapangan benar adanya.
Pengujian dilakukan di berbagai wilayah seperti Aceh, Lampung, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Kalimantan, dan Jabodetabek.
Temuan yang bersifat merata di berbagai daerah menandakan bahwa persoalan ini bersifat sistemik dan tidak bisa dianggap sebagai insiden lokal semata.
Hudi menegaskan bahwa pemerintah wajib menunjukkan ketegasan dalam kasus ini, terutama terhadap pelaku yang telah berulang kali melakukan pelanggaran.
Ia menyerukan agar izin usaha produsen yang terbukti bersalah segera dicabut tanpa kompromi.
Memberi kelonggaran kepada pelanggar, menurutnya, hanya akan memperburuk sistem dan menjadi preseden buruk bagi perlindungan konsumen di masa mendatang.
Lebih jauh, ia mengingatkan agar kasus ini tidak berakhir senyap seperti beberapa skandal pangan sebelumnya yang hanya ramai di awal, namun lenyap seiring waktu berjalan.
Pemerintah didesak untuk menjaga konsistensi dalam penegakan hukum, demi membangun kepercayaan publik dan menciptakan iklim bisnis yang bersih dan sehat.
Dalam konteks yang lebih luas, skandal ini menjadi cerminan lemahnya kontrol mutu di sektor pangan nasional.
Meski Indonesia memiliki badan pengawasan dan sertifikasi mutu, praktik curang seperti ini tetap terjadi dan merajalela.
Hal ini menunjukkan perlunya perbaikan menyeluruh, mulai dari regulasi distribusi hingga sistem pelabelan yang lebih transparan.
Keterlibatan produsen besar juga membuktikan bahwa persoalan ini tidak hanya terjadi pada pelaku usaha kecil, melainkan melibatkan korporasi berskala nasional.
Publik kini menanti langkah lanjutan dari aparat penegak hukum.
Penindakan harus dilakukan secara adil, menyeluruh, dan tidak tebang pilih.
Tindakan tegas terhadap pelaku akan memberikan pesan kuat bahwa negara hadir untuk melindungi konsumen dan tidak memberi ruang bagi kejahatan ekonomi yang merugikan rakyat kecil.
Dengan potensi kerugian yang begitu besar, penyelesaian kasus ini akan menjadi batu uji bagi integritas pemerintah dalam menangani persoalan pangan secara transparan dan berkeadilan.
Jika proses hukum dilakukan secara menyeluruh, skandal ini justru bisa menjadi momentum penting untuk membenahi tata kelola pangan di Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.***









