KoranBandung.co.id – Gelombang protes terhadap tayangan televisi yang dinilai menyinggung pesantren mencuat di Bandung dalam dua hari terakhir.
Sejumlah santri dan masyarakat mendatangi kawasan Trans Studio Mall (TSM) Bandung pada Kamis siang dengan membawa spanduk dan menyuarakan kekecewaan.
Aksi serupa berlanjut pada Jumat di Transmart Buah Batu, Bojongsoang, oleh Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bandung dengan tuntutan yang lebih tegas terhadap pihak penyiar.
Kejadian ini menarik perhatian publik karena berlangsung di dua titik berbeda dengan isu yang sama, yakni penolakan terhadap tayangan program “Kisah Pondok” di salah satu televisi swasta nasional.
Pada Kamis (16/10), suasana di kawasan TSM sempat ramai ketika puluhan santri dan masyarakat menggelar aksi damai.
Aksi tersebut sempat memengaruhi kegiatan di sekitar lokasi, termasuk acara wisuda yang digelar di dalam pusat perbelanjaan tersebut.
Meski sempat menimbulkan keramaian, situasi tetap terkendali karena dijaga aparat kepolisian yang memastikan keamanan di sekitar area.
Hingga saat ini, pihak televisi maupun perusahaan induknya belum menyampaikan tanggapan resmi terkait desakan masyarakat.
Namun, desakan agar ada klarifikasi dan permintaan maaf semakin meluas seiring dengan viralnya video aksi di media sosial.
Tidak berhenti di TSM, gelombang aspirasi juga muncul keesokan harinya, Jumat (17/10), di kawasan Transmart Buah Batu, Bojongsoang.
Kali ini, aksi dipimpin oleh Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Bandung yang menilai tayangan tersebut tidak sekadar menyinggung, tetapi juga melecehkan peran pesantren, kyai, dan santri.
Mereka menilai televisi seharusnya memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga keberagaman dan menghormati nilai-nilai keagamaan yang sudah mengakar di masyarakat.
Dalam aksi itu, GP Ansor secara terbuka mendesak pihak CT Corp selaku induk perusahaan untuk memberikan penjelasan dan permintaan maaf.
Mereka menekankan bahwa pesantren memiliki peran penting dalam pendidikan bangsa serta melahirkan tokoh-tokoh yang berkontribusi dalam kehidupan sosial dan politik di Indonesia.
Gelombang protes ini menunjukkan bahwa sensitivitas publik terhadap pemberitaan dan tayangan hiburan semakin tinggi.
Banyak masyarakat merasa bahwa media massa harus lebih berhati-hati dalam mengangkat tema yang berkaitan dengan agama maupun lembaga pendidikan.
Sementara itu, di ruang digital, perdebatan juga berlangsung hangat.
Sebagian netizen mendukung aksi protes dengan menilai langkah tersebut wajar sebagai bentuk menjaga marwah pesantren.
Namun ada pula yang mempertanyakan mengapa lokasi aksi dipusatkan di kawasan hiburan seperti TSM dan Transmart, bukan langsung ke kantor stasiun televisi terkait.
Terlepas dari pro dan kontra, gelombang aksi yang berlangsung dua hari berturut-turut memperlihatkan adanya keresahan kolektif dari masyarakat pesantren.***









