KoranBandung.co.id – Diduga penyerangan mendadak terjadi di Posko Sukahaji pada Minggu dini hari, 19 Oktober 2025, sekitar pukul 02.21 WIB.
Sekelompok orang tak dikenal (OTK) dikabarkan mengincar posko tersebut yang saat kejadian sedang dihuni sejumlah warga.
Dalam penyerangan itu, posko disebut-sebut dijaga oleh warga termasuk anak-anak dan ibu-ibu yang berada di lokasi.
Hingga kini, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian mengenai detail insiden penyerangan tersebut.
Peristiwa ini menambah panjang daftar konflik tanah di kawasan Sukahaji, Kota Bandung, yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Warga menilai penyerangan ini bukan sekadar ancaman fisik, melainkan bentuk tekanan baru dari pihak-pihak yang bersengketa soal lahan.
Sengketa Panjang di Sukahaji
Konflik di Sukahaji bermula dari klaim pihak yang mengaku sebagai perwakilan pemilik tanah, yakni PT Sakura.
Warga yang sudah puluhan tahun tinggal di lahan itu merasa keberadaannya terancam karena diminta mengosongkan wilayah yang telah mereka tempati.
Menurut catatan, sebagian besar warga mulai menempati lahan tersebut sejak 1980-an tanpa mengantongi dokumen resmi kepemilikan.
Mereka membangun rumah, memanfaatkan lahan untuk kegiatan sehari-hari, hingga membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) meski tidak memiliki sertifikat hak milik.
Situasi ini membuat warga berada pada posisi lemah di hadapan hukum.
Ketika pemilik tanah melakukan pemagaran sepihak, warga merasa tertekan dan akhirnya memutuskan menempuh jalur hukum.
Keabsahan Sertifikat Dipertanyakan
Selain PT Sakura, pasangan Junus dan Juliana juga mengklaim memiliki sertifikat hak atas tanah tersebut yang diterbitkan BPN pada tahun 2002 dan 2003.
Namun warga mempertanyakan legalitas sertifikat itu karena lahan sudah dikuasai masyarakat jauh sebelum dokumen tersebut terbit.
Keberadaan sertifikat ganda menimbulkan polemik hukum baru dan memicu ketegangan yang semakin sulit diredam.
Meski demikian, pasal dalam Undang-Undang Pokok Agraria sebenarnya menegaskan bahwa penguasaan tanah dalam jangka waktu lama secara fisik dan sosial dapat memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat.
Namun lemahnya akses masyarakat terhadap sistem pendaftaran tanah membuat posisi mereka semakin terjepit.
Rentetan Konflik dan Insiden
Kasus Sukahaji bukan pertama kali memicu kekerasan.
Dalam kurun tujuh tahun terakhir, sudah terjadi setidaknya dua kali kebakaran misterius yang diduga berkaitan dengan konflik tanah.
Insiden terbaru berupa penyerangan posko dini hari ini semakin menegaskan bahwa eskalasi konflik terus meningkat.
Kehadiran anak-anak dan ibu-ibu di lokasi saat penyerangan membuat suasana semakin mencekam dan menimbulkan trauma mendalam bagi warga.
Kondisi ini menuntut perhatian serius dari pemerintah dan aparat penegak hukum.
Pentingnya Legalitas Tanah
Sengketa Sukahaji menjadi cermin lemahnya kesadaran hukum masyarakat mengenai pentingnya sertifikasi tanah.
Banyak warga masih beranggapan bahwa penguasaan fisik selama puluhan tahun cukup untuk menjadi bukti kepemilikan.
Padahal, tanpa legalitas formal, masyarakat rentan terhadap klaim sepihak dari pihak yang memiliki dokumen resmi.
Program pemerintah seperti Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) seharusnya dimanfaatkan maksimal oleh warga.
Dengan sertifikat resmi, posisi hukum masyarakat akan lebih kuat ketika berhadapan dengan mafia tanah maupun pengembang.***









