KoranBandung.co.id – Fenomena “bad spouse” atau pasangan buruk kian sering dibicarakan di media sosial dan ruang diskusi publik.
Istilah ini mencerminkan dinamika hubungan rumah tangga yang tidak sehat dan membawa pengaruh besar terhadap kehidupan pasangan.
Dalam konteks budaya modern, pemahaman mengenai bad spouse menjadi penting untuk menjaga kualitas hubungan dan kesehatan mental individu.
Banyak orang menggunakan istilah “bad spouse” tanpa benar-benar memahami maknanya secara menyeluruh.
Padahal, konsep ini bukan sekadar tentang perilaku kasar atau perselingkuhan, melainkan juga mencakup berbagai bentuk ketidakseimbangan emosional dan psikologis dalam hubungan.
Makna dan Konsep Bad Spouse
Secara harfiah, “bad spouse” berarti pasangan yang buruk.
Namun dalam konteks hubungan, istilah ini lebih luas karena mencakup perilaku yang merugikan pasangan secara emosional, mental, atau sosial.
Pasangan seperti ini bisa tampak normal di luar, tetapi menunjukkan sikap yang mengikis rasa percaya dan kebahagiaan di dalam rumah tangga.
Beberapa contoh perilaku bad spouse antara lain bersikap manipulatif, egois, tidak menghargai pasangan, atau sering menuntut tanpa memberi timbal balik yang seimbang.
Selain itu, ada pula bentuk yang lebih halus seperti gaslighting, di mana seseorang membuat pasangannya merasa bersalah atas hal yang bukan kesalahannya.
Dalam jangka panjang, hubungan dengan bad spouse dapat memunculkan stres kronis, depresi, bahkan trauma psikologis yang sulit pulih.
Tanda-Tanda Pasangan yang Termasuk Bad Spouse
Ciri-ciri bad spouse tidak selalu mudah dikenali pada awal hubungan.
Banyak orang baru menyadarinya setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan bersama.
Salah satu tanda utamanya adalah kurangnya empati dalam interaksi sehari-hari.
Pasangan seperti ini sering mengabaikan perasaan dan kebutuhan emosional orang lain demi kepentingannya sendiri.
Selain itu, mereka juga cenderung mengontrol keputusan-keputusan kecil, seperti gaya berpakaian, pertemanan, hingga aktivitas pribadi.
Dalam beberapa kasus, perilaku itu berkembang menjadi kekerasan verbal atau bahkan fisik.
Kondisi ini sering kali membuat korban merasa terjebak dan kehilangan kepercayaan diri untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat.









