KoranBandung.co.id – Fenomena munculnya garis-garis seperti sabetan pedang di layar HP Samsung atau yang dikenal dengan istilah “lightsaber” semakin sering dikeluhkan pengguna.
Di berbagai forum diskusi teknologi dan media sosial, pengguna ramai-ramai membagikan pengalaman mereka menghadapi kerusakan layar tersebut.
Bukan hanya soal kerusakan, perhatian publik juga tertuju pada respons layanan purna jual yang dinilai mengecewakan oleh banyak pengguna.
Istilah “lightsaber” muncul dari visualisasi garis lurus berwarna terang yang menyerupai cahaya pedang dalam film fiksi ilmiah.
Garis tersebut biasanya muncul secara vertikal maupun horizontal di layar dan tidak menghilang meski ponsel direstart.
Kondisi ini dilaporkan paling sering terjadi pada perangkat yang menggunakan panel layar AMOLED.
Salah satu hal menarik yang diangkat oleh pengguna Facebook bernama Zairie Zai adalah bahwa layar AMOLED lebih rentan terhadap isu lightsaber dibandingkan jenis panel lainnya.
Ia menegaskan bahwa bukan hanya perangkat Samsung yang bisa terkena dampaknya, sebab banyak pabrikan smartphone lain yang juga menggunakan panel AMOLED dari vendor yang sama.
Perangkat dari brand seperti Xiaomi, Oppo, Vivo, hingga iPhone tak luput dari risiko yang serupa, terutama jika panel AMOLED yang digunakan berasal dari produsen yang sama.
Namun, yang membuat Samsung menjadi sorotan adalah karena banyak pengguna merasa kecewa dengan kebijakan garansi dari produsen asal Korea Selatan tersebut.
Sebagian besar keluhan menyasar pada respons pusat layanan Samsung yang dinilai tidak bertanggung jawab saat kasus lightsaber terjadi.
Netizen mengungkapkan bahwa mereka kerap mendapati klaim garansi ditolak karena alasan “human error”, meski tidak pernah merasa perangkat mereka terbentur atau jatuh.
Sejumlah pengguna lain juga menyebut bahwa ketika merek lain mengalami masalah serupa, layanan perbaikannya jauh lebih cepat dan efisien.
Seorang pengguna bernama Teguh Aditya menyampaikan bahwa merek seperti Oppo dan Vivo dapat memperbaiki perangkat dengan cepat tanpa banyak proses rumit.
Sementara itu, akun Randa Aldevaro mengungkapkan kekesalannya karena garansi justru ditolak dengan dalih pembaruan perangkat lunak menyebabkan kerusakan layar.
Komentar lain dari akun HAHA HIHI memperkuat narasi kekecewaan itu dengan menyebutkan bahwa layar AMOLED Samsung lebih mahal, sulit diklaim garansi, dan jika diganti dengan layar non-orisinal, harga ponsel langsung turun drastis.
Fenomena ini tidak hanya memunculkan persoalan teknis semata, tetapi juga membongkar sisi rentan dari layanan purna jual yang seharusnya menjadi benteng terakhir perlindungan konsumen.
Menariknya, banyak netizen yang justru menyoroti bahwa produsen lain pun bisa mengalami masalah serupa karena mereka memakai panel AMOLED dari Samsung sendiri.
Komentar akun Noval Virman menyebut bahwa wajar jika brand lain terkena dampaknya, karena sebagian besar memakai panel dari Samsung.
Namun, yang menjadi pembeda adalah bagaimana masing-masing produsen merespons keluhan konsumen.
Beberapa pengguna menyebut bahwa perangkat mereka bisa menunjukkan gejala lightsaber hanya karena tergencet di saku celana atau akibat tekanan ringan yang seharusnya tidak menyebabkan kerusakan serius.
Ada pula kasus di mana garis muncul usai pembaruan perangkat lunak, mengindikasikan kemungkinan adanya bug atau ketidakcocokan antara software dan hardware.
Samsung sendiri sejauh ini belum memberikan klarifikasi publik yang memadai terkait maraknya isu lightsaber tersebut.
Meski pihak teknisi di beberapa Service Center memberikan penjelasan teknis bahwa warna garis juga berpengaruh dalam keputusan garansi, tetap saja hal ini menuai perdebatan di kalangan konsumen.
Warna garis menjadi indikator yang cukup penting, misalnya ketika garis berwarna hijau muncul, maka klaim garansi kerap langsung ditolak dengan asumsi adanya human error.
Di sisi lain, konsumen menilai bahwa sebagai produsen papan atas, Samsung seharusnya mampu memberikan layanan yang setara dengan harga dan reputasi produknya.
Kekecewaan publik ini tidak hanya menjadi isu personal antar pengguna, tetapi juga bisa menjadi ancaman reputasi jangka panjang jika tidak direspon serius oleh perusahaan.
Selain kerugian material, pengguna juga mengalami ketidaknyamanan karena harus mengganti layar dengan harga tinggi atau menggunakan perangkat yang tampilannya terganggu secara permanen.
Belum lagi jika perangkat yang digunakan adalah kelas flagship, tentu ekspektasi terhadap kualitas dan jaminan layanan purna jual menjadi lebih tinggi.
Jika dibandingkan, pengguna dari merek pesaing menyebut bahwa mereka lebih mudah mengakses layanan perbaikan dan tidak dipersulit dengan tuduhan kelalaian pribadi.
Hal ini seolah memperkuat dugaan bahwa sistem evaluasi klaim garansi di Samsung masih menyisakan ruang subjektivitas yang merugikan konsumen.
Fenomena lightsaber seharusnya menjadi momen refleksi bagi industri smartphone untuk meningkatkan transparansi dalam urusan layanan teknis dan perlindungan konsumen.
Dengan meningkatnya kesadaran pengguna akan hak-haknya, produsen ponsel tak bisa lagi hanya mengandalkan kualitas produk tanpa memastikan dukungan layanan yang maksimal.
Konsumen saat ini menuntut jaminan menyeluruh, mulai dari spesifikasi, daya tahan, hingga dukungan teknis pasca pembelian yang andal dan profesional.
Sebagai pelaku industri teknologi global, Samsung dan para pesaingnya perlu merespons tren ini dengan serius agar tidak kehilangan kepercayaan publik yang sudah dibangun bertahun-tahun.
Selama layanan purna jual masih dianggap bermasalah, isu lightsaber hanya akan menjadi salah satu dari sekian banyak kasus yang mencuat ke permukaan.
Referensi: Facebook***