KoranBandung.co.id – Seorang pria lanjut usia dari Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, menempuh perjalanan panjang menuju pusat pemerintahan daerah untuk menyuarakan keresahannya.
Perjalanan itu bukan sekadar rutinitas, melainkan sebuah ikhtiar yang lahir dari tekad mempertahankan hak yang ia yakini masih tertunda.
Di tangannya, ia membawa sejumlah piagam penghargaan yang warnanya mulai memudar dimakan usia, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang yang ia jalani.
Pria tersebut bernama H. Ase Rukmantara, seniman berusia 72 tahun yang dikenal sebagai pencipta beberapa karya lagu yang menjadi bagian dari identitas Kabupaten Bandung Barat.
Meski rambutnya telah memutih dan langkahnya tak lagi sekuat dulu, semangatnya tetap menyala ketika menyangkut persoalan karya dan hak cipta yang hingga kini belum jelas statusnya.
Ia menuturkan bahwa dua lagu karyanya, yakni Karatagan dan Hymne Bandung Barat, masih belum tercatat secara resmi sebagai karya berhak cipta hingga hari ini, Sabtu, 23 Agustus 2025.
Kondisi tersebut membuatnya terus berjuang, meski berbagai keterbatasan kerap menghadang di usianya yang sudah senja.
Dalam perjalanannya menuju pusat pemerintahan, ia memilih menggunakan angkutan kota, alat transportasi sederhana yang mencerminkan kesederhanaan hidupnya.
Namun di balik kesederhanaan itu, tersimpan idealisme seorang seniman yang ingin memastikan hasil karyanya mendapat pengakuan dan perlindungan yang semestinya.
H. Ase menyadari bahwa perjuangan ini tidak hanya tentang dirinya semata, tetapi juga tentang warisan seni yang telah ia sumbangkan untuk masyarakat.
Lagu Karatagan dan Hymne Bandung Barat sudah lama dikenal masyarakat, bahkan sering dibawakan dalam berbagai kegiatan resmi maupun non-formal di wilayah tersebut.
Sayangnya, ketidakjelasan pencatatan hak cipta membuat karya itu belum sepenuhnya menjadi miliknya secara hukum, meski publik mengetahui siapa penciptanya.
Hal inilah yang mendorongnya untuk terus mencari keadilan, meskipun harus melewati jarak puluhan kilometer dengan tenaga seadanya.
Semangat itu tak lain lahir dari tekadnya yang masih ingin mewujudkan cita-cita besar, yakni menyelesaikan pembangunan sebuah masjid di dekat kediamannya di Cipatat.
Bagi H. Ase, pengakuan atas karya-karya itu bukan hanya soal nama, tetapi juga harapan akan adanya penghargaan yang bisa menjadi bekal dalam merealisasikan pembangunan masjid tersebut.
Masjid itu ia harapkan bisa menjadi tempat ibadah sekaligus ruang pembelajaran bagi generasi muda di lingkungannya.
Keinginannya sederhana, namun jalannya tidak mudah, terutama di tengah situasi hak cipta yang berlarut-larut tanpa kepastian.
Jika melihat piagam-piagam yang ia bawa, publik bisa memahami betapa panjang perjalanan seorang seniman yang selama ini tetap konsisten berkarya untuk daerahnya.
Dokumen penghargaan itu memang tampak kusam dan pudar, tetapi semangat yang terpancar dari matanya justru sebaliknya, masih terang benderang.
Masyarakat sekitar Cipatat sendiri menilai perjuangan H. Ase merupakan simbol bahwa seni dan budaya daerah perlu dihargai lebih serius oleh pemerintah.
Sebagian berharap agar pemerintah daerah maupun lembaga terkait bisa segera memberikan kejelasan terkait status hak cipta dua lagu tersebut.
Sebab, pengakuan atas karya seni bukan hanya bentuk penghormatan kepada pencipta, melainkan juga langkah penting dalam menjaga warisan budaya lokal.
Perjuangan seorang seniman di usia senja seharusnya menjadi pengingat bahwa kreativitas tidak boleh dipandang sebelah mata.
Apalagi, karya seni seperti lagu daerah memiliki fungsi yang lebih luas sebagai pengikat identitas dan kebanggaan masyarakat setempat.
Dalam konteks inilah, suara H. Ase sebetulnya adalah representasi dari banyak seniman daerah lain yang juga menghadapi tantangan serupa.
Hak cipta yang jelas akan memberi perlindungan sekaligus jaminan agar karya tidak digunakan sembarangan tanpa izin pencipta.
Jika hal itu tercapai, maka kontribusi seniman lokal bisa lebih dihargai sekaligus memberi motivasi bagi generasi berikutnya untuk tetap berkarya.
Kini, di usianya yang ke-72 tahun, H. Ase masih teguh dalam langkah meski tak lagi secepat masa mudanya.***