KoranBandung.co.id – PT Sejahtera Bintang Abadi Textile Tbk (SBA Textile), perusahaan tekstil yang pernah menjadi kebanggaan Bandung dengan ekspor benang ke 22 negara, resmi diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Putusan ini menambah daftar panjang perusahaan tekstil nasional yang tidak mampu bertahan di tengah tekanan bisnis, setelah sebelumnya Sritex juga dinyatakan bangkrut pada Maret 2025.
Meski pernah memiliki kapasitas produksi besar, perusahaan yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia sejak 2020 itu sebenarnya telah berhenti beroperasi sejak Juli 2024.
Kabar pailitnya SBA Textile menjadi pukulan berat bagi industri tekstil dalam negeri yang selama beberapa dekade dikenal sebagai sektor padat karya dan penopang ekspor nonmigas.
Perjalanan bisnis SBA Textile sejatinya penuh cerita naik turun, mulai dari ekspansi besar-besaran hingga akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit di pengadilan.
Keputusan pailit yang dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada pekan terakhir September 2025 ini didasarkan pada proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang tidak menemukan titik terang.
Sebelumnya, manajemen perusahaan sempat mencoba mencari jalan keluar melalui restrukturisasi dan negosiasi dengan kreditur, namun kondisi keuangan yang kian menurun membuat opsi tersebut tidak berhasil.
SBA Textile pernah menjadi salah satu pemain penting dalam industri benang nasional, dengan kapasitas produksi yang diklaim mampu menembus pasar internasional.
Ekspor benang ke 22 negara menjadi pencapaian terbesar yang sempat mengangkat reputasi perusahaan, sekaligus menegaskan posisi Bandung sebagai pusat tekstil terbesar di Indonesia.
Namun sejak pandemi COVID-19, performa bisnis perusahaan mengalami penurunan tajam akibat menurunnya permintaan global, tingginya biaya produksi, dan persaingan ketat dari produk impor murah.
Kondisi semakin memburuk ketika harga bahan baku melonjak, sementara daya beli konsumen di dalam negeri juga belum sepenuhnya pulih.
Meski sempat mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia pada 2020, kinerja perusahaan terus menurun hingga akhirnya terpaksa menghentikan seluruh operasional pada pertengahan 2024.
Penghentian operasional ini otomatis berdampak pada ribuan karyawan yang menggantungkan hidupnya pada perusahaan, sehingga menambah kompleksitas persoalan sosial-ekonomi di daerah.
Kasus pailitnya SBA Textile menunjukkan bahwa tantangan industri tekstil nasional bukan hanya soal produksi, tetapi juga terkait daya saing global dan strategi bisnis jangka panjang.
Banyak analis menilai kegagalan perusahaan menjaga keberlanjutan usaha dipicu oleh lemahnya inovasi dan ketergantungan tinggi pada pasar ekspor yang fluktuatif.
Selain itu, beban utang yang menumpuk semakin mempersempit ruang gerak perusahaan untuk bertahan di tengah tekanan global yang semakin kompleks.
Keputusan pailit yang menimpa SBA Textile juga menjadi cerminan bagaimana industri tekstil Indonesia tengah berada pada fase kritis.
Sebelumnya, Sritex yang selama puluhan tahun dikenal sebagai raksasa tekstil dunia lebih dulu dinyatakan bangkrut pada Maret 2025.
Kini, SBA Textile menyusul dalam daftar perusahaan besar yang tumbang, memperlihatkan adanya gelombang krisis yang melanda sektor ini.
Dari perspektif investor, kasus ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai tata kelola perusahaan tekstil yang telah go public.
Banyak pihak menilai, masuknya SBA Textile ke bursa saham pada 2020 seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat modal dan daya saing.
Namun, kenyataannya suntikan dana dari pasar modal tidak cukup menyelamatkan perusahaan dari tekanan bisnis yang berkelanjutan.***