KoranBandung.co.id – Seorang warga Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Toni Permana berusia 46 tahun, merasa kecewa karena inovasi paving block berbahan sampah plastik yang ia kembangkan diduga tidak mendapat perhatian dari pemerintah.
Kekecewaan itu muncul setelah bertahun-tahun ia berupaya menunjukkan keunggulan produknya yang terbukti ramah lingkungan dan memiliki daya tahan lebih baik dibanding paving block berbahan semen.
Padahal, di tengah meningkatnya persoalan sampah plastik di Indonesia, inovasi tersebut bisa menjadi salah satu solusi nyata dalam mengurangi pencemaran sekaligus membuka peluang usaha baru.
Toni mengungkapkan bahwa paving block hasil kreasinya dibuat dari sampah plastik yang dilelehkan lalu dicetak dalam bentuk segi enam.
Proses tersebut menghasilkan paving block yang lebih ringan, kuat, dan tahan lama dibandingkan paving semen konvensional.
Keunggulan produknya bukan hanya klaim pribadi, melainkan telah dibuktikan melalui berbagai uji teknis di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Produk paving block plastik itu telah lolos uji bakar, uji tekan, uji polutan, hingga uji abrasi sehingga menunjukkan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Namun sayangnya, meski memiliki sertifikasi dan hasil uji ilmiah, Toni mengaku kesulitan memperluas produksi maupun pemasaran karena tidak ada dukungan dari pemerintah.
Ia menilai, minimnya perhatian tersebut membuat inovasi yang seharusnya bisa bermanfaat luas justru terhambat perkembangannya.
Menurut Toni, jika ada dukungan serius, paving block plastik bisa diproduksi secara massal sehingga membantu mengurangi tumpukan sampah plastik yang terus meningkat di lingkungan sekitar.
Selain itu, peluang ekonomi bagi masyarakat juga bisa terbuka lebar, terutama dalam sektor usaha mikro dan kecil yang bergerak di bidang pengolahan limbah.
Keterlibatan pemerintah dianggap sangat penting untuk membuka jalan dalam hal permodalan, akses pasar, serta regulasi yang berpihak pada produk ramah lingkungan.
Toni menyebut bahwa saat ini produksi paving block plastik masih dilakukan dalam skala terbatas karena terbentur biaya operasional yang cukup tinggi.
Mesin pencetak yang digunakan pun sebagian besar masih sederhana, sehingga kapasitas produksi tidak mampu memenuhi potensi permintaan pasar yang lebih besar.
Kondisi ini membuat Toni sering kali harus menolak pesanan dalam jumlah banyak karena keterbatasan peralatan dan tenaga kerja.***