Bahaya Racun Pestisida di Lingkungan Pertanian terhadap Sistem Saraf Manusia
Ilustrasi. Sumber: Pixabay/ wuzefe

Bahaya Racun Pestisida di Lingkungan Pertanian terhadap Sistem Saraf Manusia

Diposting pada
iklan fif batujajar

KoranBandung.co.id – Bahaya racun pestisida di lingkungan pertanian semakin mengkhawatirkan karena dapat merusak sistem saraf manusia secara perlahan namun permanen.

Di banyak wilayah pertanian di Indonesia, penggunaan pestisida menjadi praktik umum demi mengendalikan hama dan meningkatkan hasil panen.

Namun, efek jangka panjang dari akumulasi zat kimia ini sering kali luput dari perhatian masyarakat, terutama petani yang paling dekat dengan sumber paparan.

Paparan racun pestisida yang terjadi secara berulang dalam jangka panjang telah terbukti mengganggu sistem saraf manusia, bahkan pada dosis yang dianggap aman dalam standar pertanian konvensional.

Pestisida, khususnya golongan organofosfat dan karbamat, bekerja dengan cara menghambat enzim penting di dalam tubuh yang berfungsi menjaga komunikasi antar sel saraf.

Ketika enzim tersebut terganggu, transmisi sinyal di otak dan seluruh sistem saraf menjadi kacau, menimbulkan efek seperti tremor, kebingungan, gangguan penglihatan, hingga kejang.

Gejala awal gangguan akibat paparan pestisida sering kali tidak dikenali sebagai sesuatu yang serius, karena mirip dengan keluhan umum seperti pusing, mual, atau kelelahan.

Namun bila terjadi terus-menerus, gejala tersebut dapat berkembang menjadi gangguan motorik yang permanen bahkan kelumpuhan.

Studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga kesehatan internasional seperti WHO dan ILO menunjukkan bahwa paparan pestisida menyumbang risiko signifikan terhadap penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson dan Alzheimer, khususnya pada kelompok petani berusia lanjut.

Baca Juga:  Apakah Monster Energy Drink Halal? Ini Hasil Penulurannya

Di Indonesia, banyak petani bekerja tanpa perlindungan memadai, seperti sarung tangan, masker, atau pakaian pelindung yang tahan bahan kimia.

Kebiasaan menyemprot pestisida tanpa peralatan tersebut memperbesar peluang racun masuk ke dalam tubuh, baik melalui kulit, saluran pernapasan, maupun secara tidak sengaja melalui makanan dan minuman.

Kondisi ini makin diperparah oleh minimnya edukasi terhadap bahaya pestisida, serta lemahnya regulasi distribusi dan penggunaan zat kimia pertanian.

Petani sering kali hanya mengikuti saran penjual pestisida tanpa mengetahui kandungan bahan aktif serta risiko jangka panjang dari produk yang digunakan.

Padahal, banyak produk pestisida di pasaran mengandung bahan kimia yang telah dilarang di negara-negara lain karena terbukti menyebabkan gangguan sistem saraf.

Di beberapa daerah sentra pertanian seperti Brebes, Temanggung, dan Karawang, kasus gangguan neurologis ringan hingga berat mulai dilaporkan oleh tenaga medis setempat.

Meski belum ada data nasional yang bersifat komprehensif, laporan dari Puskesmas menunjukkan adanya pola gejala gangguan saraf yang seragam pada petani yang terpapar pestisida dalam waktu lama.

Baca Juga:  Perbedaan Workout dan Gym yang Sering Disalahpahami Masyarakat

Pemerintah sebenarnya telah mengatur penggunaan pestisida melalui Peraturan Menteri Pertanian, namun pengawasan di lapangan masih lemah dan tidak merata.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat telah mencoba mengedukasi petani tentang alternatif pertanian organik yang lebih ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.

Namun adopsi pertanian organik masih terbatas karena dianggap tidak seefisien metode konvensional dalam hal hasil produksi.

Kondisi ini menciptakan dilema klasik antara produktivitas pertanian dan kesehatan manusia yang terus bergulir tanpa solusi komprehensif dari hulu ke hilir.

Langkah yang lebih strategis diperlukan, seperti pemberdayaan petani melalui pelatihan intensif mengenai pestisida, penyediaan alat pelindung diri gratis, serta penegakan hukum terhadap distribusi pestisida berbahaya.

Kementerian Pertanian juga perlu menggandeng sektor kesehatan dan lingkungan untuk melakukan survei terpadu yang mengaitkan penggunaan pestisida dengan gangguan neurologis di daerah pertanian.

Selain itu, lembaga pendidikan di bidang pertanian harus memasukkan kurikulum khusus tentang bahaya pestisida dan prinsip pertanian berkelanjutan.

Langkah preventif seperti ini akan jauh lebih efektif dibandingkan hanya mengandalkan pengobatan setelah gejala muncul.

Kesadaran masyarakat luas juga penting, karena efek residu pestisida tidak hanya berdampak pada petani, tetapi juga dapat masuk ke rantai makanan dan mempengaruhi konsumen di perkotaan.

Baca Juga:  Perbedaan Botol Ketemu Tutup dan Tutup Ketemu Botol, Benarkah Berpengaruh dalam Pernikahan?

Penelitian dari LIPI menunjukkan bahwa residu pestisida dapat ditemukan pada sayuran dan buah yang dijual di pasar, dengan konsentrasi bervariasi tergantung pada lokasi pertanian dan jenis tanaman.

Masyarakat dapat turut berperan dengan lebih selektif memilih produk organik atau mencuci bahan makanan secara menyeluruh sebelum dikonsumsi.

Dengan memahami risiko jangka panjang dari paparan pestisida, diharapkan akan tercipta sistem pertanian yang tidak hanya produktif tetapi juga aman dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Perubahan besar tidak bisa terjadi secara instan, namun melalui edukasi, regulasi yang tegas, serta kolaborasi lintas sektor, ancaman bahaya pestisida terhadap sistem saraf manusia dapat diminimalkan.-*-