KoranBandung.co.id – Fenomena pencurian logam yang marak di berbagai wilayah belakangan ini memunculkan istilah “rayap besi” yang kian populer di masyarakat.
Istilah ini bukan hanya sekadar sebutan, tetapi mencerminkan keresahan publik terhadap aksi kriminal yang dampaknya sangat nyata di lingkungan mereka.
Aksi yang dilakukan secara diam-diam ini tak hanya menimbulkan kerugian materil, tetapi juga mengganggu kenyamanan dan bahkan membahayakan keselamatan.
“Rayap besi” bukanlah istilah resmi yang tercatat dalam kamus hukum, tetapi menjadi sebutan populer yang merujuk pada pelaku pencurian barang-barang berbahan logam, khususnya besi, di ruang publik maupun fasilitas pribadi.
Para pelaku biasanya menyasar benda-benda berbahan logam seperti pagar rumah, tralis jendela, tutup gorong-gorong, hingga komponen kendaraan besar seperti truk yang sedang parkir.
Aksi mereka dilakukan secara cepat dan senyap, menjadikan pelaku sulit dikenali.
Kegiatan ini tidak hanya berlangsung di area pemukiman padat, tetapi juga menjalar ke kawasan industri, fasilitas umum, hingga proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
Modus yang digunakan cukup beragam, mulai dari berpura-pura sebagai pekerja proyek, hingga menyamar sebagai pemulung yang tengah mencari barang bekas.
Dengan cara ini, mereka dapat lebih leluasa beroperasi tanpa menimbulkan kecurigaan warga sekitar.
Di berbagai wilayah, keluhan warga mulai bermunculan terkait lenyapnya benda-benda berbahan logam tanpa jejak.
Di Medan, sejumlah laporan menyebutkan banyak tutup gorong-gorong di jalan utama yang hilang, membuat jalanan menjadi berbahaya bagi pengendara dan pejalan kaki.
Tak hanya itu, beberapa truk logistik mengaku kehilangan onderdil saat parkir di pinggir jalan dalam waktu singkat.
Para pelaku biasanya menjual hasil curian ke tempat pengepul logam dengan harga murah, tanpa proses pemeriksaan asal-usul barang.
Harga besi tua di pasaran yang cukup stabil membuat aktivitas ini menjadi bisnis ilegal yang menjanjikan bagi pelaku.
Kondisi ekonomi yang sulit dan minimnya pengawasan menjadi pemicu utama maraknya aksi ini.
Dalam banyak kasus, pelaku yang tertangkap mengaku melakukan pencurian karena terdesak kebutuhan ekonomi, bahkan beberapa di antaranya merupakan residivis yang berulang kali melakukan aksi serupa.
Masyarakat pun diimbau untuk lebih waspada dan memperketat keamanan lingkungan.
Penggunaan CCTV, pagar tambahan, serta patroli warga menjadi langkah antisipatif yang bisa diterapkan untuk mencegah pencurian logam.
Pihak kepolisian juga berkomitmen untuk menindak tegas aksi-aksi kriminal semacam ini.
Di beberapa daerah, penadah besi curian juga mulai diburu karena dianggap turut melanggengkan praktik ilegal ini.
Beberapa pemerintah daerah bahkan mempertimbangkan untuk membuat regulasi ketat terhadap transaksi logam bekas guna mencegah praktik pencurian yang semakin meresahkan.
Pengawasan terhadap pengepul logam dipandang perlu agar aktivitas jual beli logam bekas tidak menjadi celah bagi pelaku kejahatan.
Tak sedikit pula masyarakat yang menyuarakan perlunya edukasi dan pemberdayaan ekonomi sebagai solusi jangka panjang.
Dengan membuka lapangan kerja atau pelatihan keterampilan, diharapkan mereka yang selama ini mencari uang dengan cara ilegal bisa beralih ke pekerjaan yang lebih layak dan sah.
Fenomena “rayap besi” ini menjadi gambaran nyata bagaimana kriminalitas bisa berkembang seiring celah sosial dan lemahnya sistem pengawasan.
Lebih dari sekadar pencurian benda mati, aksi ini memperlihatkan kerentanan masyarakat dalam menghadapi persoalan ekonomi dan keamanan lingkungan.
Media sosial turut mempercepat penyebaran informasi mengenai kasus-kasus “rayap besi”, membuat publik semakin sadar akan pentingnya menjaga fasilitas umum dan lingkungan sekitar.
Foto-foto pagar hilang, tutup gorong-gorong terbuka, hingga truk yang komponennya raib, tersebar luas sebagai bentuk peringatan kolektif.
Namun, upaya penanggulangan harus dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya melalui tindakan hukum, tetapi juga dengan pendekatan sosial yang berkelanjutan.***