KoranBandung.co.id – Memilih bekerja melalui yayasan atau outsourcing masih menjadi opsi utama bagi banyak pencari kerja di kawasan industri Indonesia.
Fenomena ini terjadi di tengah tingginya angka pencari kerja yang berbanding terbalik dengan jumlah lowongan tetap yang tersedia.
Sistem kerja melalui yayasan dianggap sebagai solusi cepat untuk mendapat pekerjaan, namun tidak sedikit pula yang mempertanyakan sistem ini dari sisi keadilan dan kesejahteraan.
Di kawasan industri besar seperti Cikarang, Karawang, hingga Gresik, skema kerja lewat yayasan tumbuh pesat sebagai respon atas kebutuhan tenaga kerja yang fluktuatif.
Perusahaan kerap menggandeng yayasan tenaga kerja untuk mengisi kebutuhan posisi operator, staf produksi, hingga cleaning service dengan proses yang lebih ringkas dibandingkan rekrutmen langsung.
Yayasan menyediakan kandidat dalam waktu cepat dan siap pakai, serta mengurus sebagian besar aspek administratif termasuk kontrak kerja dan BPJS.
Bagi perusahaan, hal ini sangat menguntungkan karena dapat menekan biaya operasional serta meminimalisir risiko hukum terkait hubungan kerja jangka panjang.
Namun, sistem ini memunculkan sejumlah dinamika di lapangan, terutama di sisi pekerja yang merasa tidak sepenuhnya terlindungi.
Para pekerja yang direkrut melalui yayasan umumnya mendapat kontrak kerja jangka pendek dan tidak memiliki kepastian akan perpanjangan masa kerja.
Kondisi ini membuat mereka berada dalam posisi rawan secara ekonomi dan sosial, apalagi di tengah kondisi industri yang semakin kompetitif.
Meski demikian, sistem kerja via yayasan juga memiliki beberapa kelebihan yang tidak bisa diabaikan.
Salah satunya adalah kemudahan dalam proses masuk kerja.
Pekerja hanya perlu mengikuti proses seleksi yang biasanya lebih sederhana, dan dalam waktu relatif singkat, bisa langsung bekerja.
Hal ini sangat membantu bagi pencari kerja pemula atau mereka yang sebelumnya kesulitan menembus sistem rekrutmen formal perusahaan besar.
Selain itu, beberapa yayasan juga menyediakan pelatihan dasar bagi calon tenaga kerja sebelum diterjunkan ke lapangan.
Ini memberikan nilai tambah bagi mereka yang belum memiliki pengalaman kerja.
Di sisi lain, salah satu kekurangan utama sistem ini adalah persoalan kesejahteraan.
Upah yang diterima pekerja yayasan umumnya lebih rendah dibandingkan pekerja tetap di perusahaan yang sama.
Selain itu, ada kasus-kasus pemotongan gaji tidak transparan, keterlambatan pembayaran, hingga ketidakjelasan status kerja saat masa kontrak berakhir.
Yayasan pun sering kali dianggap tidak akuntabel dalam memberikan perlindungan tenaga kerja sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.
Ketika terjadi perselisihan hubungan kerja, pekerja berada di posisi lemah karena tidak berhubungan langsung dengan perusahaan pengguna jasa.
Selain masalah upah, persoalan lain adalah soal jaminan sosial tenaga kerja.
Meskipun dalam peraturan disebutkan bahwa pekerja outsourcing berhak atas BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan, pelaksanaannya di lapangan kerap tidak sesuai.
Beberapa pekerja mengaku belum menerima kartu BPJS meski sudah bekerja lebih dari tiga bulan.
Hal ini menunjukkan masih lemahnya pengawasan terhadap yayasan tenaga kerja.
Namun demikian, tidak semua yayasan bersikap negatif.
Beberapa di antaranya menjalankan praktik perekrutan secara profesional dan terbuka, serta memberikan kejelasan informasi kepada calon pekerja sejak awal.
Yayasan jenis ini biasanya sudah memiliki reputasi baik dan bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan ternama.
Mereka juga memberikan kontrak kerja yang sesuai aturan, membayar gaji tepat waktu, dan mengikutsertakan tenaga kerja dalam program jaminan sosial.
Fenomena ini menegaskan bahwa sistem kerja melalui yayasan tidak bisa disamaratakan.
Ada yang profesional dan patuh regulasi, namun tak sedikit pula yang menyimpang dari etika dan hukum ketenagakerjaan.
Pemerintah diharapkan memperketat regulasi dan pengawasan terhadap lembaga penyalur tenaga kerja ini.
Kebutuhan untuk membentuk standar akreditasi bagi yayasan ketenagakerjaan juga menjadi sorotan penting agar bisa membedakan yayasan yang kredibel dan yang tidak.
Dengan begitu, perusahaan tetap bisa mendapat tenaga kerja yang dibutuhkan, namun pekerja pun memperoleh hak dan perlindungan yang layak.
Di tengah ketatnya persaingan kerja, kehadiran yayasan memang tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Namun, sistem ini harus dikawal agar tetap berpihak pada keadilan dan kesejahteraan pekerja, bukan sekadar efisiensi biaya bagi perusahaan.
Bagi pencari kerja, penting untuk lebih selektif dalam memilih yayasan serta memahami hak-hak dasar sebagai pekerja sebelum menandatangani kontrak.***