KoranBandung.co.id – Ayam goreng renyah yang Anda santap hari ini adalah hasil dari rekayasa genetika selektif selama lebih dari lima dekade oleh industri peternakan modern.
Di balik tekstur gurih dan daging empuknya, ayam broiler menyimpan kisah evolusi buatan yang luar biasa cepat, tak seperti narasi evolusi alam yang memakan jutaan tahun.
Proses ini bukan hasil manipulasi genetik transgenik, melainkan seleksi genetik sistematis dan pakan tinggi energi yang difokuskan pada efisiensi pertumbuhan.
Sejak pertengahan abad ke-20, ayam broiler telah mengalami perubahan signifikan baik dari segi ukuran, waktu panen, hingga dampaknya terhadap kesehatan ayam itu sendiri.
Data dari penelitian Zuidhof et al. (2014) yang dilakukan oleh University of Alberta memaparkan transformasi yang mencengangkan.
Pada tahun 1957, ayam broiler rata-rata memiliki berat sekitar 905 gram.
Dua dekade kemudian, tepatnya tahun 1978, beratnya meningkat menjadi 1.808 gram.
Namun lonjakan paling drastis terjadi pada tahun 2005, ketika ayam broiler mencapai berat rata-rata 4.202 gram.
Artinya, dalam rentang waktu kurang dari 50 tahun, berat ayam broiler meningkat 364 persen.
Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan hasil nyata dari industri yang menargetkan efisiensi tinggi.
Ayam broiler masa kini tidak hanya lebih besar, tetapi juga tumbuh lebih cepat.
Jika dahulu dibutuhkan lebih dari 90 hari untuk menghasilkan ayam siap panen, kini hanya butuh sekitar 40 hari.
Dengan kata lain, dalam waktu Anda menunggu gajian bulanan, seekor ayam broiler sudah bisa berubah dari anakan menjadi lauk siap goreng.
Transformasi ini bukan karena ayam diberi suplemen binaraga, melainkan hasil seleksi induk ayam dengan karakteristik pertumbuhan cepat dan proporsi daging dada yang tinggi.
Proses ini disebut selective breeding atau seleksi buatan, yang mengawinkan ayam-ayam dengan performa genetik unggul agar menghasilkan keturunan yang semakin optimal untuk konsumsi.
Meskipun bukan termasuk GMO (Genetically Modified Organism), hasilnya tetap luar biasa karena efisiensinya yang sangat tinggi.
Namun, seperti semua hal yang dikejar secara instan, proses ini membawa konsekuensi tersendiri.
Ayam broiler modern cenderung memiliki sistem imun yang lemah.
Tak sedikit ayam yang mengalami kesulitan berjalan atau bahkan berdiri terlalu lama karena berat tubuhnya sendiri.
Peternakan intensif pun harus menjaga kondisi ayam dengan penggunaan antibiotik.
Penggunaan antibiotik ini bukan tanpa risiko.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berulang kali memperingatkan bahwa penggunaan antibiotik yang berlebihan dalam industri peternakan dapat menyebabkan munculnya bakteri kebal antibiotik atau superbug.
Superbug ini berpotensi menular ke manusia melalui rantai makanan dan menyebabkan krisis kesehatan global jika tidak dikendalikan.
Di sisi lain, ayam kampung memberikan gambaran berbeda tentang bagaimana unggas hidup secara alami.
Ayam jenis ini tumbuh lebih lambat, memiliki ruang gerak lebih luas, dan makan makanan yang lebih alami.
Hasilnya, daging ayam kampung cenderung lebih padat, rasa lebih gurih karena lemak alami, serta tekstur yang lebih kenyal.
Kehidupan ayam kampung bisa dianalogikan seperti manusia yang menjalani gaya hidup slow living, sehat dan penuh keseimbangan.
Sedangkan ayam broiler mencerminkan kehidupan manusia modern—serba cepat, efisien, namun rentan kelelahan.
Ayam broiler memang bukan produk jahat.
Mereka adalah hasil dari kebutuhan industri pangan untuk memenuhi permintaan populasi global yang terus bertambah.
Namun penting bagi konsumen untuk memahami apa yang mereka konsumsi.
Mengetahui bahwa ayam broiler dibesarkan dengan cara yang berbeda dari ayam kampung bisa menjadi langkah awal dalam membangun kesadaran pangan.
Kesadaran ini mencakup tidak hanya aspek kesehatan, tetapi juga etika dan keberlanjutan dalam sistem produksi pangan global.
Di balik sajian ayam geprek yang pedas menggoda atau nasi uduk dengan potongan paha goreng garing, tersembunyi sistem produksi yang kompleks, sistematis, dan penuh kompromi.
Jadi, pertanyaannya bukanlah “bolehkah makan ayam broiler?”
Jawabannya tentu saja boleh.
Tapi memahami asal-usul makanan yang Anda konsumsi adalah bentuk tanggung jawab sebagai konsumen yang cerdas.
Dengan memahami bagaimana ayam broiler dibesarkan dan dampaknya terhadap kesehatan serta lingkungan, masyarakat bisa membuat pilihan yang lebih bijak, baik di dapur maupun di meja makan.***