KoranBandung.co.id – Kecelakaan kereta api sering kali menghadirkan istilah yang membingungkan bagi masyarakat, salah satunya perbedaan arti antara kata “tertabrak” dan “terpeper”.
Istilah “tertabrak” sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia dan tercatat dalam KBBI sebagai bentuk resmi.
Sementara itu, istilah “terpeper” bukanlah kata baku, melainkan istilah yang populer digunakan dalam konteks kecelakaan kereta api.
Dalam praktiknya, “terpeper” muncul sebagai bentuk turunan dari kata “menemper” yang belakangan lebih sering digunakan oleh pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI).
PT KAI menggunakan kata “menemper” untuk menggambarkan kondisi saat kereta api berinteraksi dengan objek lain, baik kendaraan maupun orang, di jalur rel.
Penggunaan istilah ini dianggap lebih tepat dibandingkan kata “menabrak” karena kereta api sebenarnya tidak pernah keluar dari jalurnya.
Dengan kata lain, kereta api hanya berjalan sesuai lintasan yang sudah ditetapkan dan peristiwa kecelakaan biasanya disebabkan oleh pihak luar yang melanggar aturan.
Banyak peristiwa kecelakaan kereta api terjadi karena kelalaian pengendara atau pejalan kaki yang memaksa menerobos palang pintu perlintasan.
Dalam kasus seperti ini, penggunaan istilah “menemper” atau “terpeper” dinilai lebih netral dan tidak sepenuhnya menyalahkan kereta api.
Dari sisi bahasa, “tertabrak” memberikan kesan adanya aksi aktif yang dilakukan kereta terhadap objek lain.
Sementara itu, “terpeper” dipahami lebih sebagai akibat dari posisi objek yang berada di jalur kereta sehingga tidak bisa dihindari.
Sejumlah pengamat transportasi menyebut istilah “terpeper” dipakai untuk menekankan bahwa kereta api tidak memiliki fleksibilitas untuk menghindar.
Kereta api tidak bisa berhenti mendadak seperti kendaraan lain karena membutuhkan jarak pengereman yang panjang.
Itulah sebabnya, kecelakaan di perlintasan sebisa mungkin dicegah dengan kepatuhan pengguna jalan.
Secara psikologis, penggunaan kata “terpeper” juga dinilai mengurangi stigma negatif terhadap kereta api.
Masyarakat diharapkan lebih memahami bahwa faktor utama kecelakaan bukanlah karena kereta menabrak, tetapi karena adanya pelanggaran di jalur perlintasan.
Dengan kata lain, istilah ini sekaligus menjadi edukasi agar masyarakat lebih berhati-hati ketika melintas di jalur kereta api.
PT KAI sendiri konsisten menggunakan istilah “menemper” dalam laporan resmi maupun pernyataan publik terkait insiden kecelakaan.
Hal ini sejalan dengan kampanye keselamatan yang menekankan pentingnya kedisiplinan pengguna jalan raya.
Meski begitu, tidak sedikit masyarakat yang masih bingung dengan perbedaan makna istilah ini karena terbiasa mendengar kata “tertabrak”.
Ahli bahasa menilai perbedaan ini sebenarnya lebih kepada konteks penggunaannya, bukan perbedaan arti secara mendasar.
Kata “tertabrak” tetap benar secara bahasa, tetapi dalam konteks kereta api, kata “terpeper” dianggap lebih sesuai menggambarkan kondisi faktual.
Sementara itu, dari sisi regulasi, pemerintah tetap menggunakan istilah umum seperti “tabrakan” dalam laporan kecelakaan transportasi.
Namun, bagi operator seperti PT KAI, pilihan diksi “menemper” atau “terpeper” menjadi bagian dari komunikasi publik yang strategis.
Dengan kata ini, PT KAI berharap masyarakat memahami bahwa kereta api hanya bisa berjalan di rel dan tidak mungkin keluar jalur untuk menghindari objek.
Sehingga, tanggung jawab terbesar tetap ada pada pengguna jalan agar mematuhi rambu-rambu di perlintasan.
Bahkan, data PT KAI menunjukkan sebagian besar kecelakaan terjadi karena pelanggaran pengguna jalan, bukan kesalahan teknis kereta api.
Hal ini membuktikan bahwa edukasi keselamatan di jalur rel masih perlu diperkuat.
Perbedaan istilah “tertabrak” dan “terpeper” akhirnya bisa dipahami sebagai upaya bahasa untuk memberikan perspektif yang lebih adil.
Dengan begitu, masyarakat tidak serta-merta menyalahkan kereta api ketika insiden terjadi.
Lebih jauh lagi, istilah ini menjadi pengingat agar semua pihak lebih berhati-hati dan disiplin di jalur perlintasan.
Dengan pemahaman yang lebih tepat mengenai istilah ini, diharapkan angka kecelakaan bisa ditekan melalui kesadaran kolektif masyarakat.
Pada akhirnya, keselamatan di jalur kereta bukan hanya tanggung jawab PT KAI, tetapi juga kewajiban setiap pengguna jalan.****