KoranBandung.co.id – Tiga pemuda asal Majalengka harus menelan pil pahit setelah nekat merantau ke Jakarta karena tergiur lowongan kerja sebagai anak buah kapal (ABK) di kawasan Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara.
Perjalanan mereka berawal dari sebuah tawaran kerja yang terlihat menggiurkan di media sosial.
Dengan harapan mendapatkan penghasilan besar, mereka akhirnya meninggalkan kampung halaman dan berangkat menuju ibu kota.
Namun, sesampainya di Jakarta, harapan tersebut berubah menjadi mimpi buruk karena mereka justru terjebak praktik penipuan tenaga kerja.
RA bersama dua rekannya, AS (18) dan RH (20), awalnya dijanjikan bekerja di kapal dengan kontrak empat bulan.
Mereka mengaku ditawari pekerjaan oleh seorang teman yang mengajak melalui Facebook.
Kepada agensi yang merekrut, mereka juga menegaskan permintaan kontrak kerja jelas sebelum berangkat ke laut.
Pihak agensi pun menyanggupi, bahkan meyakinkan bahwa pekerjaan ini akan membawa keuntungan besar.
Namun, kenyataan yang ditemui di lapangan sangat berbeda.
Setelah berada di kapal, mereka baru mengetahui dari ABK senior bahwa kontrak sebenarnya bukan empat bulan, melainkan satu tahun enam bulan.
Selain itu, gaji yang semula dijanjikan Rp 6 juta per bulan ternyata harus dipotong Rp 2 juta oleh calo.
Potongan tersebut bahkan belum termasuk biaya tambahan lain, seperti kewajiban membeli peralatan pancing senilai Rp 6 juta.
Kondisi itu membuat mereka tidak yakin bisa membawa uang pulang setelah bekerja berbulan-bulan di laut.
Merasa tertipu, salah satu korban mencoba menghubungi calo untuk meminta penjelasan.
Namun, bukan jawaban yang menenangkan, mereka justru mendapat ancaman denda sebesar Rp 2 juta jika membatalkan kontrak.
Tidak berhenti sampai di situ, ketiga pemuda tersebut bahkan disekap di mess milik agensi.
RA menuturkan mereka tidak diperbolehkan keluar, bahkan untuk sekadar membeli kebutuhan di warung pun selalu diawasi.
Situasi ini berlangsung selama kurang lebih empat hari.
Setelah tidak tahan dengan penyekapan, mereka akhirnya memberanikan diri kabur.
Ketiganya melarikan diri lewat belakang mess yang langsung berbatasan dengan Waduk Pluit.
Dengan penuh risiko, mereka berenang sejauh 200 meter hingga menemukan sebuah warung di atas waduk.
Di tempat itulah mereka meminta pertolongan warga sekitar agar terlepas dari jeratan para calo.
Kisah tragis ini kembali membuka mata masyarakat tentang bahaya tawaran kerja abal-abal, terutama melalui media sosial.
Fenomena penipuan berkedok lowongan kerja di sektor perikanan bukanlah hal baru.
Sejumlah laporan sebelumnya juga menunjukkan praktik serupa di wilayah pesisir utara Jakarta.
Modus yang digunakan hampir sama, yakni iming-iming gaji besar, kontrak singkat, dan fasilitas lengkap.
Namun, setelah calon pekerja terlanjur datang, barulah mereka menyadari kontrak yang sebenarnya penuh jebakan.
Kasus RA dan rekannya menunjukkan betapa rentannya generasi muda desa terhadap rayuan pekerjaan cepat kaya.
Minimnya informasi, sulitnya lapangan pekerjaan, dan kuatnya harapan memperbaiki ekonomi keluarga sering kali membuat mereka mudah percaya.
Padahal, tanpa verifikasi dan pengecekan resmi, tawaran kerja berisiko tinggi berujung pada eksploitasi.
Pemerintah diminta lebih aktif mengawasi agen perekrut tenaga kerja di sektor perikanan.
Selain itu, literasi masyarakat tentang cara mengenali lowongan kerja palsu juga harus terus digencarkan.
Peran keluarga dan aparat desa pun penting agar setiap warga yang akan merantau memiliki bekal pengetahuan cukup sebelum menerima tawaran kerja.
Kasus ini juga menjadi pelajaran bahwa calon pekerja harus memastikan legalitas perusahaan dan kejelasan kontrak tertulis sebelum menandatangani kesepakatan.
RA dan kedua rekannya kini selamat setelah berhasil melarikan diri, tetapi trauma akibat pengalaman pahit tersebut masih membekas.
Mereka berharap tidak ada lagi korban lain yang mengalami nasib serupa akibat terjebak calo nakal yang memanfaatkan kesulitan ekonomi masyarakat.***